Oleh: Asri Tadda (Direktur The Sawerigading Institute)
OKSON, – Beberapa hari terakhir, sebuah artikel INFOTREN24.com berjudul “Lampia Bergerak Cepat, Luwu Timur Menuju Babak Baru Ekonomi” ramai dibicarakan di ruang publik.
Artikel tersebut menarasikan optimisme tinggi atas rencana pengembangan Kawasan Industri Lampia (KIL) di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Narasi itu menggambarkan kawasan Lampia sebagai motor baru ekonomi daerah yang akan membuka lapangan kerja luas, mendorong investasi besar-besaran, dan mengubah wajah ekonomi Luwu Timur dari basis pertanian dan pertambangan mentah menjadi pusat industri pengolahan modern.
Namun, di balik narasi penuh semangat tersebut, kita perlu mengajukan pertanyaan kritis: sejauh mana klaim dan janji dalam artikel itu didukung oleh data konkret, kajian ilmiah, dan kepastian hukum? Sebab pembangunan yang hanya bertumpu pada optimisme tanpa basis data dan kehati-hatian justru bisa menjadi awal dari masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan yang serius di kemudian hari.
Optimisme tanpa Data
Dalam artikel itu, disebutkan bahwa yang “paling mendesak bukan lagi insentif atau harga sewa lahan, tetapi kecepatan kawasan ini untuk segera beroperasi.” Frasa ini menarik, namun sekaligus mengkhawatirkan.
Kecepatan memang penting dalam dunia investasi, tetapi kecepatan tanpa perencanaan matang dapat melahirkan persoalan baru. Tidak ada satu pun data kuantitatif dalam artikel tersebut yang menunjukkan berapa besar nilai investasi yang telah benar-benar dikomitmenkan, berapa luas lahan yang sudah siap, berapa banyak tenaga kerja yang akan terserap, atau bagaimana proyeksi kontribusi terhadap PDRB Luwu Timur.
Padahal, laporan pemerintah daerah sendiri menyebutkan nilai investasi yang diklaim mencapai lebih dari Rp200 triliun dan penyerapan tenaga kerja puluhan ribu orang. Angka sebesar itu menuntut verifikasi publik yang ketat: siapa investor utamanya, bagaimana skema pembiayaan, dan apa tahapan realisasi yang sudah berjalan. Tanpa data ini, narasi “bergerak cepat” hanyalah retorika pembangunan.
Sengketa Lahan yang Diabaikan
Fakta penting lainnya adalah masih adanya sengketa lahan seluas sekitar 395 hektare di wilayah Lampia. Sengketa ini sudah lama bergulir dan bahkan pernah dimediasi langsung oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Timur.
Sayangnya, artikel itu sama sekali tidak menyebutkan masalah ini. Seolah-olah kawasan tersebut sepenuhnya “bersih” dari konflik sosial. Padahal, masyarakat yang terdampak berhak atas informasi, kompensasi, dan jaminan keadilan sebelum proyek kawasan industri dijalankan.
Jika pemerintah dan investor tidak menyelesaikan sengketa tersebut secara transparan dan adil, maka cepat atau lambat, konflik sosial di lapangan akan muncul kembali, dan ini bisa mencoreng citra investasi itu sendiri.
Catatan Lingkungan yang Terlupakan
Sejumlah organisasi lingkungan dan advokasi publik pernah mencatat dugaan pelanggaran oleh perusahaan yang beroperasi di sekitar Lampia. Dugaan itu antara lain soal pembuangan limbah B3 tanpa izin dan pencemaran di aliran Sungai Malili.
Kita tentu tidak boleh menuduh tanpa dasar, tetapi laporan-laporan seperti ini menuntut tanggapan resmi dan audit lingkungan independen. Terlebih jika perusahaan yang sama atau afiliasinya menjadi bagian dari pengelolaan kawasan industri baru.
Oleh karena itu, masyarakat berhak meminta akses terhadap dokumen AMDAL, SK Kelayakan Lingkungan Hidup, dan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL/RPL) kawasan Lampia. Tanpa kepastian aspek lingkungan, janji “babak baru ekonomi” bisa berubah menjadi “babak baru kerusakan.”
Transformasi Ekonomi Bukan Otomatis
Artikel tersebut juga menyatakan bahwa kawasan industri akan mengubah wajah ekonomi Luwu Timur menjadi wilayah industri pengolahan dan jasa pendukung tambang.
Secara teori, transformasi ekonomi memang bisa terjadi ketika ada industrialisasi. Namun, transformasi semacam itu tidak otomatis terjadi hanya karena pabrik berdiri. Pertanyaannya adalah, apakah sudah ada perjanjian kandungan lokal (local content agreement)? Apakah sudah ada program pelatihan tenaga kerja lokal? Apakah sudah ada skema kemitraan UMKM untuk memasok kebutuhan industri?
Jika tidak ada kebijakan yang memastikan nilai tambah tetap tinggal di daerah, maka yang terjadi hanyalah enklavisasi ekonomi — pabrik beroperasi, keuntungan mengalir ke luar daerah, sementara masyarakat lokal tetap menjadi penonton.
Transparansi adalah Kunci
Kelemahan paling mendasar dari artikel tersebut adalah tidak adanya rujukan sumber yang jelas. Penulis tidak mengutip data resmi, tidak menyebutkan sumber informasi, bahkan tidak mengungkapkan apakah tulisan itu bersifat advertorial atau murni jurnalisme independen.
Di era keterbukaan informasi, publik berhak tahu siapa yang menulis, dari mana sumbernya, dan apa afiliasinya. Artikel yang mendorong investasi publik tanpa transparansi sumber rentan menjadi alat promosi sepihak yang menyesatkan.
Oleh karena itu, Pemkab Luwu Timur dan pihak investor sebaiknya membuka semua dokumen penting untuk publik, termasuk naskah kerja sama antara pemerintah dan investor, studi kelayakan proyek, dokumen lingkungan (AMDAL/ANDAL, SKKLH, izin limbah B3), dan peta lahan beserta status hukumnya
Keterbukaan bukan penghambat pembangunan.
Sebaliknya, transparansi adalah syarat agar investasi besar seperti Kawasan Industri Lampia mendapat legitimasi sosial yang kuat dari masyarakat Luwu Timur sendiri.
Menata Masa Depan dengan Kehati-hatian
Kawasan Industri Lampia memang punya potensi besar. Letaknya strategis, berdekatan dengan pelabuhan, dan bisa menjadi simpul industri nikel, energi, serta logistik di kawasan timur Indonesia. Tapi potensi itu harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian, bukan euforia.
Pembangunan yang berkelanjutan bukan hanya soal cepat, tapi juga soal benar. Benar secara sosial, benar secara ekologis, dan benar secara ekonomi. Karena jika salah langkah, proyek sebesar apa pun bisa berubah menjadi beban jangka panjang bagi daerah.
Luwu Timur memang layak maju. Tetapi kemajuan sejati hanya akan lahir dari keberanian menghadapi fakta, bukan dari menutup mata terhadap persoalan yang nyata.
Kita tidak menolak investasi, tetapi menuntut agar investasi itu berpihak pada masyarakat, menghormati lingkungan, dan dijalankan secara transparan. Jika itu belum terpenuhi, maka “babak baru ekonomi” yang dijanjikan masih sekadar mimpi di atas kertas.(*)






